MENG-INGKARI AKAL


Sahabatku… Memang kita butuh mengakui diri bahwa kita jarang menggunakan akal sebelum merespon apapun yang mengusik. Dengan menarik diri untuk kembali menggunakan akal. Kita akan mampu melihat sesuatu yang belum  terlihat. Karena disitulah akal kita akan bermain, dan akhirnya kita akan mulai belajar untuk tidak meng-ingkari akal lagi.

Karena memang tidak ada hal yang lebih indah dari pada ber-akal. Satu-satunya senjata yang kita miliki adalah kesadaran, kesadaran yang berakal tentunya. Dengan akal kita mampu berpikir. Satu pekerjaan melelahkan yang sering kita skip. 

Saat belajar kita men-skip akal kita. Saat beragama kita men-skip akal kita. Saat beramal kita men-skip akal kita. Saat ber-ibadah kita men-skip akal kita. Saat kita beriman pun kita men-skip akal kita. Berapa kali dalam hidup ini kita men-skip akal kita sendiri dan hanya ikut-ikutan tanpa pernah memikirkan kembali apa yang kita ikuti?

Kita melihat segerombolan orang mengejar domba dan kita ikut-ikutan mengejar domba itu tanpa berpikir ulang, kenapa kita ikut-ikutan mengejar domba itu. Akhirnya kita tersadar, lalu kita menengok ke kanan dan melihat segerombolan ikan berenang, lalu kita ikut berenang bersama ikan-ikan itu. Ikan-ikan itu berhenti berenang dan bertanya “Kenapa Anda berenang bersama kami?” Mendengar pertanyaan itu kita baru tersadar, kenapa?

Kenapa kita hampir mengikuti seluruh yang dilakukan oleh semua orang, tanpa pernah bertanya apakah benar memang kita dihidupkan untuk melakukan itu semua? Apakah benar kita memang dihidupkan untuk sekolah, bekerja, menikah, memiliki anak, lalu menikahkan anak, lalu menimang cucu, lalu sakit dan meninggal. Apakah betul ini adalah pola hidup yang memang harus kita jalani?

Pernahkan kita bercermin dan berpikir kenapa harus seperti itu? Apakah pola itu adalah memang pola yang DIA buatkan untuk kita? Tapi bagaimana bisa kita dibuatkan pola? Kalau wajah kita saja berbeda, kesadaran kita berbeda, tingkat penerimaan dan pemahaman kita berbeda, passion kita pun berbeda. Jadi bagaimana mungkin kita dipolakan? 

Kalau kita memang tidak terpolakan olehNYA. Lalu siapa yang mem-polakan semua ini? Siapa yang memaksa kita mengikuti pola tanpa berpikir ulang? Siapa yang memaksa kita mengejar domba bahkan sebelum kita berpkikir kenapa kita harus mengejar domba itu? Siapa yang memaksa kita berenang dan menjadi ikan, padahal kita bukan ikan? Siapa?

Sahabatku… Tanpa berpikir ulang lagi, kita bisa menyerah dan menjawab kalau itu adalah kehendakNYA. Tapi kalau kita mau menggunakan akal, itu tidak mungkin menjadi jawaban.

Jadi memang sudah saatnya kita mundur, menarik diri kepojokan untuk berpikir ulang… Kenapa? Kenapa saya ada disini? Kenapa saya dihidupkan? Kenapa saya masih bernafas? Apakah betul saya hidup hanya untuk menjalani pola ini? Apakah betul saya bernafas hanya untuk bergerombol dalam ketidak tahuan?

Sahabatku… Akhir kata memang sudah saatnya kita menggunakan akal dan tidak lagi meng-ingkari akal kita sendiri. Bukankah akal itu adalah anugerahNYA?


Salam Semesta

Copyright © www.PesanSemesta.com

Lebih baru Lebih lama