Komitmen Seperti Apakah Yang Butuh Kita Bangun Dalam Pernikahan?









Alasan pertama kita menikah adalah cinta. Namun pada faktanya pernikahan membutuhkan lebih dari sekedar cinta. Tapi komitmen. Apakah cinta akan membuahkan komitmen? Faktanya tidak. Itulah kenapa begitu banyak pasangan yang hanyut dalam cinta. Tapi cinta mereka tidak bisa bertahan lebih lama dalam pernikahan. Lalu komitmen seperti apakah yang butuh kita bangun dalam pernikahan?

Sebaris pertanyaan yang lewat dari jawaban. Seharusnya kita mampu menjawab ini jauh sebelum memutuskan menceremonikan pernikahan. Cinta saja tidak mampu memberi jawaban untuk satu pertanyaan diatas. Apalagi pesta pernikahan, para undangan, keluarga mempelai, bahkan orang tua kita pun tidak mampu memberi jawaban.

Inilah yang harus kita akui keliru sahabatku… Kita hidup berdasarkan penilaian yang diluar – bukan berdasarkan penilaian diri sendiri. Akhirnya saat kita berada dalam ketidak nyamanan hidup, kita berlari keluar untuk mencari penilaian yang diluar – bukan penilaian diri sendiri. Tapi apa yang mampu dilakukan yang diluar, kalau semua yang diluar hanya berasal dari yang didalam, yaitu diri kita sendiri.

Coba ingat kenapa Anda memutuskan menikah? Jawaban umum adalah karena sudah waktunya menikah. Lalu siapa yang menentukan sudah waktunya Anda menikah? …….. Jawaban ini lah yang akan menentukan komitmen yang Anda dan pasangan bangun dalam pernikahan. Kita tidak secara otomatis membuahkan komitmen dalam pernikahan, melainkan kita membangunnya.

Pernikahan itu bukan tentang kata ‘SAH’. Lalu kita berkata “Kau halal aku pakai. Aku adalah imam-mu kau adalah pasanganku. Ini adalah hakmu. Ini adalah hakku. Ini adalah kewajibanku. Ini adalah kewajibanmu. Turutilah aku dan ini akan menjadi pahala bagi kita.”

Pernikahan itu adalah perjanjian diantara dua jiwa yang saling sadar akan dirinya masing-masing. Bukan sadar akan hak dan kewajiban, tapi sadar bahwa Anda telah memilih dia, dan dia telah memilih Anda. Karena dari kesadaran inilah komitmen itu dibangun.

Membangun komitmen itu bukan soal membuat list hak dan kewajiban. Tapi soal keseimbangan. Bagaimana Anda dan pasangan secara matang menyeimbangkan hidup dalam kebersamaan. Sehingga dua jiwa yang secara sadar sudah saling memilih untuk hidup bersama ini, bisa hidup untuk saling memakmurkan secara harmonis.

Kunci pernikahan bukan kumpulan hukum hak kewajiban yang ditegakkan. Istri harus mengurus urusan rumah tangga. Istri harus menurut dan melayani suami. Istri harus menghormati dan patuh dengan ibu suami. Istri tidak boleh berkarir diluar dan lain sebagainya. Begitu juga suami harus memberi nafkah. Suami harus menjadi pemimpin. Suami harus patuh kepada ibu. Semua ini adalah Aturan GAwe MAnusia. Seluruh agama mengatur dan memberi aturan dengan harapan terjadi keseimbangan.

Masalahnya sekarang apakah keseimbangan dalam pernikahan adalah hal yang bisa di sama ratakan? Tentunya keseimbangan tiap pasangan jiwa berbeda-beda. Pernikahan adalah dua peribadi unik yang memilih untuk bersama. Jelas keseimbangan pernikahan pasangan si A akan berbeda dengan pasangan si H, pasangan si M, dan pasangan si B.

Menemukan keseimbangan dalam pernikahan adalah kunci kebahagiaan pernikahan itu sendiri. Itulah kenapa dalam pernikahan komitmen harus dibangun. Pernikahan bukan sekedar membangun cinta lalu otomatis membuahkan komitmen. Tapi membangun komitmen, lalu meng-abadikan cinta didalam komitmen.  

Itulah kenapa dua jiwa yang memilih bersama ini, harus sadar akan dirinya masing-masing. Sehingga keter-salingan muncul dengan suka rela dari kesadaran, bukan keterpaksaan. Melainkan karena menjadi pilihan dalam kesadaran untuk saling memakmurkan secara harmonis. Harmonis itu berarti rela. Tidak perlu ada hukum kalau keduanya sudah saling merelakan. Bukan begitu?

Setiap pasangan jiwa yang sadar akan keberasamaannya, dengan suka rela akan bertanya; Apa yang akan saling kita rasakan dalam kebersamaan ini? Apa yang akan saling kita bagi dalam kebersamaan ini? Apa yang akan kita lakukan dalam kebersamaan ini? Apa yang akan kita curahkan untuk kebersamaan ini?

Ketersalingan yang muncul karena kesadaran yang suka rela, akan mampu meredam dan menjauhkan perselisihan dalam pernikahan, dibandingkan dengan hukum hak kewajiban. Faktanya sekarang, apabila terjadi perselisihan dalam pernikahan, pasangan lebih memilih pergi untuk mencari-cari dasar hukum, bukan pergi kedalam jiwa masing-masing untuk menanyakan apa yang salah dalam kebersamaan mereka?

Sahabatku… Betul memang kita hidup di dalam budaya yang dibangun oleh banyak warna hukum. Butuh keberanian untuk memikirkan penilaian diri sendiri, saat semua harus diseragamkan. Saat segala sesuatunya harus sesuai dengan hukumnya maka mau tidak mau akan ada pihak yang merasa tidak teradili posisinya dalam pernikahan.

Karena pernikahan adalah dua jiwa yang secara sadar saling memilih satu sama lain. Dan secara sadar pula membangun komitmen kebersamaan untuk saling memakmurkan secara harmonis. Maka solusi satu-satunya adalah bukan dengan menunjuk “kamu istri… saya suami! Hukum kita adalah seperti ini” Melainkan tunjuklah diri Anda masing-masing. Lalu bertanyalah; Apa yang telah saya lakukan kepada pasangan jiwa saya? Apa yang akan saya lakukan agar kebersamaan kami nyaman? Apa yang dibutuhkan pasangan saya dari saya?

Memakmurkan bukan tentang saya tapi tentang kita. Begitulah cinta, cinta tidak bisa dikatakan cinta. Kalau cinta tidak bisa mencintai apa yang dicintai sebagai cinta itu sendiri. Selama cinta berbalutkan pemenuhan rasa dan keuntungan pribadi, maka itu belumlah cinta.

Lihatlah semesta, bukankah ada begitu banyak cinta didalamnya? Matahari yang bersinar. Atmosfir yang melindungi. Tanah yang menumbuhkan. Air yang mengalir. Udara yang berhembus. Bukankah itu adalah cinta? Cinta selalu memberi yang dicintai begitu saja, tanpa membutuhkan pengakuan apapaun tentang cintanya. Apalagi pembalasan. Cukup mencintai begitu saja.

Pernikahan adalah pilihan jiwa yang sebenarnya ingin saling mencintai sebagaimana DIA mencintai. Jangan rusak keinginan mulia itu hanya karena kumpulan hukum hak dan kewajiban. Bukan maksud kami untuk mengesampingkan hak dan kewajiban. Namun cobalah untuk saling sadar membangun komitmen pernikahan Anda secara sukarela, tanpa berpatokan pada hukum hak dan kewajiban. Melainkan berpatok pada cinta yang ingin diabadikan.

Suami menggendong bayi, sementara istrinya memasak. Suami menyapu sementara istrinya mengepel. Istri memijat suaminya, sementara suami menyuapi istrinya. Suami memilih mencari nafkah bukan karena itu adalah kewajiban, tapi karena dia memilih sukarela ingin memakmurkan keluarganya. Istri memilih dirumah, bukan karena dia tidak boleh berkarya, tapi karena dia ingin memilih memakmurkan keluarganya dari rumah. Suami memilih hormat kepada ibunya dan mertuanya secara suka rela sebagai kasih sayang. Sementara istri secara sukarela ikut menghormati ibu dan mertunya juga. Begitu juga suami sukarela menghormati istrinya, dan istri sukarela menghormati suaminya.

Sahabatku…  SANG MAHA ADIL memberikan hak memilih dalam menjalankan kehidupan ini. Karena itu, pilihlah segala hal dalam kebersamaan pernikahan secara sukarela, berlandaskan cinta, bukan kumpulah hukum hak kewajiban. Cobalah mem-praktekkan 5% dulu cara semesta mencintai dalam kebersamaan pernikahan kita, dan kita akan melihat keajaibannya. Kalau Anda takjub, maka tambah lagi porsinya. Sesuai kebutuhan kebersamaan Anda.

Pernikahan adalah anugerah kebersamaan. Anda adalah anugerah pasangan Anda. Pasangan Anda adalah anugerah Anda. Dalam wujud penciptaan, manusia adalah pemimpin bagi diri mereka sendiri. Menjadi anak, istri, suami, orang tua ataupun mertua adalah proses memimpin diri. Lakukanlah yang terbijak dalam kepemimpinan. Karena itu adalah wujud anugerahNYA. Peran kehidupan tidak pernah menjadi apa-apa selain wujud anugerahNYA.

Untuk berkata bahwa peran ini adalah anugerah, maka dibutuhkan kebijaksaan. Kebijaksaan adalah wujud keseimbangan itu sendiri. Sementara untuk menjadi seimbang masing-masing diri yang berperan harus sadar dengan diri mereka masing-masing. Bahwa mereka adalah jiwa yang berperan untuk saling memakmurkan secara harmonis. Kemakmuran adalah bukan tentang saya tapi tentang kita. Dalam gerakaan memakmurkan butuh kerelaan untuk mencintai sebagaimana semesta mencintai.

Pertanyaan dasarnya sekarang; Seberapa paham kita dengan diri sendiri dan perannya? Kebanyakan kita tidak sadar, kita hanya mengetahui hukum hak dan kewajibannya saja. Akhirnya kita tidak benar-benar berperan untuk keter-salingan. Kita hanya berperan untuk hak dan kewajiban. Kebersamaan antara suami istri, begitu juga dengan kedua mertua menjadi hambar, karena masing-masing hanya peduli dengan hak dan kewajibanya sendiri-sendiri.

Sahabatku… Sadarkah kalau secangkir teh manis adalah contoh nyata bagaimana seharusnya Kita menjadi bersama dalam pernikahan. Sekantong teh yang menyatu dengan secangkir air panas adalah komitmen. Lalu komitmen meletakkan cinta didalamnya dalam bentuk sesendok gula. Tapi gula dan air teh butuh waktu agar menyatu dan menjadikan air teh itu manis. Sama juga saat sebelumnya teh dan air, butuh juga waktu untuk menyatu menjadi air teh. Lalu secara sadar Anda menunggu proses itu, hanya untuk merasakan secangkir teh manis yang sempurna.

Begitu juga-lah kita dalam kebersamaan pernikahan, kita butuh waktu untuk terus belajar menyadarkan diri, membangun komitmen keseimbangan, agar bisa saling memakmurkan satu sama lain dalam cinta semesta. Pahami ini dan hak kewajiban pernikahan kita tidak akan pernah saling menyakiti.


Salam Semesta

Copyright © www.PesanSemesta.com

Lebih baru Lebih lama