SEMESTA – KARYA atau ILUSI?



Sahabatku… kita pasti pernah mendengar ada sebagian ilmuan yang berpendapat bahwa semesta ini hanyalah ilulsi. Ada juga yang membuat hipotesis bahwa kita hanya hidup didalam dunia holografik. Mereka yang menentang habis materialisme juga mengatakan bahwa semua materi semesta hanya mengada-ada di otak kita dan tidak pernah nyata.

Kami akan terus menghargai berbagai pendapat, karena segala pendapat adalah hasil olah pikiran manusia yang mana adalah semesta. Setiap semesta berhak memberikan pendapatnya. Semacam sepetak tanah yang akan pucat kalau bunganya hanya berwarna putih, perbedaan pendapat bukanlah perdebatan, namun harmonisasi hidup. Tidak perlu ada yang merasa dikalahkan atau dijatuhkan, karena semesta memiliki jalur tersendiri untuk memberi tahu kita apa yang sebenarnya.

Izinkan semesta meluruskannya melalui artikel sederhana ini. Jadi bagian kebenaran pertama yang mau diungkap adalah tidak benar kalau materi tidak ada atau ilusi. Tidak pula benar kalau materi itu hanya mengada-ada di kepala kita. Sementara holografik pun harus memiliki unsur materi agar bisa membentuk hologram. Jadi sebenarnya betul materi itu ada dan nyata.

Namun kenyataan memiliki lapisan. Dilapis mana kita mampu melihat dan menyaksikan itulah materi. Tentunya ini bukan hal yang sulit bagi SANG PENCIPTA untuk menciptakan berbagai lapis kenyataan, meski sangat sulit bagi kita, bahkan untuk memahaminya.

Bagian tersulitnya adalah melepas ego untuk menyakini lapisan kenyataan yang berbeda. Itulah kenapa kita harus senantiasa berendah diri dengan segala keterbatasan kita menyaksikan kenyataan.

Jadi sederhananya apakah semesta itu karya atau ilusi, jawabannya relatif. Tergantung bagaimana kita mampu menyaksikan kenyataannya.

Bayangkan diri kita duduk dihamparan safana hijau yang membentang. Ada semilir angin yang menghembus. Kicauan kecil burung-burung yang menari dan semerbak bunga-bungi kecil khas safana. Bayangkan diri kita menyentuh lembutnya rumput-rumput itu sambil menyaksikan birunya bentangan langit, awan yang menari-nari dan kilauan matahari yang beranjak tenggelam.

Sangat damai kita duduk disana sampai matahari benar-benar tenggelam, dan langit biru itu mendadak menghitam dengan lebih banyak kilauan. Berjuta-juta bintang kecil menyinarinya. Bulan pun muncul disudut yang sama. Angin bertambah sejuk kita pun menjadi dingin. Meraih selembar selimut dan tertidur pulas ditengah safana itu.

Sahabatku…? Apakah ini ilusi?

Membayangkannya adalah ilusi, karena kita tidak bisa menyaksikannya langsung. Kita butuh menyaksikan sebelum berkata kalau ini adalah karya. Hanya saja jarak penyaksian kita terbatas. Kita ini makhluk semesta yang dengan sengaja sangat membatasi diri.

Sahabatku… Mari membuka dan melepas batas-batas diri, hanya agar kita mampu menyaksikan kebesaran tak terhingga dari penciptaan.

Menyaksikan sendiri kalau semesta ini memanglah karya terindah dan terbaik dari SANG PENCIPTA. Sebuah keindahan dan kebaikan yang tidak akan mampu terdefinisikan.

Dilapis manapun kita menyaksikan kenyataan tetap keindahan dan kebaikan SANG PENCIPTA tidak akan pernah terdifinisikan. Kenapa? Jawabannya simpel, meski masih berat.

Pikirkan begini: Bagaimana SESUATU itu membutuhkan definisi saat segalanya adalah definisi dari SESUATU itu sendiri. Bagaimana kalau SANG PENCIPTA sudah mendefinisikan diriNYA untuk segalanya. Masih perlukah kami mendefinisikan SANG PENCIPTA atau masih perlukah SANG PENCIPTA meminta definisi dari diriNYA sendiri?

Silahkan kita berpikir untuk menemukan jawaban dari jiwa terdalam kita. Jelas jawabannya sudah tertanam, karena jiwa itu pun adalah ciptaan SANG PENCIPTA.

Akhir kata sahabatku…

Kalau segalanya adalah diriNYA dan SESUATU yang menggerakkan semesta itu adalah diriNYA –SANG PENCIPTA YANG menciptakan semesta. Lalu kenapa kita masih mencari definisi?

atau sebenarnya, dilapis kenyataan mana kita berada sampai kita masih mencari difinisi?


Salam Semesta

Copyright © www.PesanSemesta.com

Lebih baru Lebih lama