PRINSIP LOA DASAR : MENANAM BENIH KEBAIKAN DALAM KEIKHLASAN SEJATI



Seperti laut yang selalu melepas ombak. Kebaikan tidak pernah mengikatkan dirinya dengan balasan. Karena kebaikan sudah tentang segalanya, dan bukan tentang balasan” – Kalau begitu, apakah kebaikan akan selalu pasti terbalas kebaikan?

Setiap helai daun segar yang terlihat awalnya adalah benih yang tertanam. Dari sebiji benih yang ditanam itulah muncul akar, lalu batang yang diikuti oleh daun, lalu setelahnya muncul bunga atau buah.

Semua kita tentunya paham akan proses lumrah ini... Dimana dari proses yang terlihat ini, kita menjadi paham kalau seluruh tanaman, apapun itu hanya akan tumbuh persis sesuai dengan benihnya.

Meskipun benih terlihat sama. Namun tiap benih hanya terprogram untuk senantiasa membawa manfaatnya masing-masing. Benih buah apel tidak akan tumbuh menjadi buah melon. Benih buah melon tidak akan tumbuh menjadi buah semangka.

Begitu juga dengan setiap benih yang kita tanam dalam hidup ini. Kita hanya akan menuai hasil sesuai dengan benih apapun yang kita tanam. Namun sekali lagi; apakah benih kebaikan yang kita lakukan selalu akan terbalas dengan kebaikan juga?

Sahabatku…

Kami termenung cukup lama untuk paham, dan jujur saja butuh keikhlasan sejati yang cukup besar untuk menerima jawaban ini. Keikhlasan sejati akan membuat jiwa siap melepas setiap diktean ego yang masih merong-rong. Keikhlasan sejati yang akan membuat jiwa mampu menerima, kalau seluruh kebaikan yang dilakukannya itu, belum tentu dibalas keuntungan.

Selama ini ego kita berpihak kalau kebaikan adalah tentang hal menguntungkan apa yang bisa kita terima. Kita terbiasa memaknai kebaikan sebagai sebuah keuntungan yang menguntungkan. Itulah kenapa pada dimensi kita ini, ego masih terus memacu kebaikan sambil mengharapkan timbalan keuntungan yang akan diterimanya.

Akhirnya diri selalu memiliki mindset… Apabila menguntungkan maka itu kebaikan, apabila tidak menguntungkan maka itu bukanlah kebaikan. Dimana hal tidak menguntungkan adalah musibah atau ujian. Sehingga pada ujungnya, kenetralan kita pun menjadi sulit terbentuk.

Padahal kenetralan adalah gerbang awal menuju keikhlasan sejati. Dimana dalam pijak pertama gerbang itu, ego sudah terkendali untuk sada, kalau apapun hasil dari kebaikan yang dilakukan semuanya adalah baik.

Misalnya, kalau kita mampu menetralkan diri. Maka kita akan berpikir apabila musibah atau ujian itu hadir hanya untuk membuat kita mampu menyadari kebaikan, maka bukankah musibah atau ujian itu adalah kebaikan juga? Dengan kata lain, tidak ada yang tidak baik bukan?

Apabila kita sudah melakukan kebaikan, lalu hasilnya belum juga menarik keuntungan. Maka tidak ada yang salah. Karena hal yang tidak menguntungkan itu bukanlah keburukan melainkan juga kebaikan.

Bagian yang suci dari sini, kita akan paham kalau kesadaran kita adalah murni kebaikanNYA. Ibaratkan diri kita sebagai benih kebaikan, maka tentunya segala yang muncul dari dalam kita hanyalah kebaikan. Kalaulah diri sudah baik, maka tentunya diri akan selalu cukup dengan kebaikan. Tanpa harus menunggu balasan apapun.

Akhirnya diri memang hanya akan hidup dalam kebaikan yang tak berkesudahan, bukan? Diri menjadi kebaikanNYA yang cukup. Pelan-pelan sampai disini…. Renungkan perlahan… Biarkan diri paham kalau Dzat Maha hanya membuat kebaikan, maka apa itu keburukan kalau bukan rong-rongan ego yang memang masih ingin terus diuntungkan.

Tapi jangan salah sangka dulu, ego juga adalah kebaikanNYA apabila kita kendalikan. Kalau ada yang bertanya; kenapa Dzat Maha tidak langsung saja mengendalikannya? Maka coba pikirkan begini sahabatku…. Dzat yang tidak membutuhkan membiarkan manusia sebagai rahmatNYA bagi semesta alam. Maka Dzat Maha tidak perlu mengendalikan bukan?

Pertanyaan yang justru lebih tepat adalah, sudahkah kita mengembalikan diri untuk menjadi rahmatNYA bagi semesta alam? Sungguh pertanyaan besar yang membuat kita sangat terpojok. Tapi jangan sampai keterpojokan kita ini, lantas membuat kita menuntut Dzat Maha untuk membuat kita baik.

Kebaikan adalah segalanya, keburukan adalah diri yang tidak diuntungkan. Jadi saat keburukan masih meliputi. Pilihannya hanya satu, yaitu merubahnya menjadi kebaikan. Masing-masing kita berhak memilih caranya.

Pilihlah yang terbesar sahabatku… Pilihlah untuk menjadi gerbang kebaikaNYA bagi semesta alam.

Mungkin sampai disini, Anda masih bertanya-tanya apa hubungannya ini dengan prinsip dasar LOA?

Dalam LOA kita belajar, kalau energi adalah kenetralan absolut. Energi adalah segalanya dan hanya akan bergetar sesuai dengan kesadaran yang membentuknya. Energi juga hanya akan menarik frekuensi yang sesuai dengan getarannya.

Jadi kalau kesadaran kita terus membentuk getaran kebaikan, maka sudah tentu kebaikanlah yang akan kita tarik. Dimana semua sudah berjalan otomatis, tanpa perlu ada pengharapan lagi. Jadi, bayangkan kalau kita mampu melangkah netral untuk paham kalau segalanya adalah kebaikan. Maka bukankah kita hanya akan melangkah sebagai kebaikan?

LOA akan terus gagal apabila seseorang, masih menempatkan kebaikan sebagai balasan, dan bukan sebagai kebaikan. Dalam LOA seseorang harus mampu sadar kalau dirinya adalah sumber kebaikan, bukan pengharap kebaikan.

Begitulah adanya, Dzat Maha tidak sedang duduk untuk memberi balasan. Dzat Maha sudah memberi kebaikan, bahkan sebelum kita pantas menerima balasan apapun. Jadi apa yang menghentikan kita untuk menanam benih yang paling baik dalam keikhlasan yang sejati?

Jadi sahabatku… Mulai detik ini, kita akan terus bergerak sampai kebaikan itu tidak lagi ternilai kebaikan. Namun segalanya memang hanyalah kebaikan.

Kalau saat ini sebagian kita merasa benih kebaikan yang ditanamnya gugur seperti daun kering yang sengaja dilepas dari dahannya. Maka renungkanlah kembali apa itu kebaikan yang telah dilakukannya itu? Apakah benar kebaika itu telah bergerak sebagai kebaikan, atau hanya sebagai aksi yang masih penuh harapan balasan.

Sekali lagi sahabatku… Butuh kenetralan untuk menerima pelajaran semesta ini. Kita harus benar-benar netral untuk ikhlas secara sejati. Kuncinya, cobalah memikirkan Dzat Maha secara lebih hormat. Tentunya Dzat Maha terlepas dari segala kebutuhan akan penghormatan. Ini hanya murni tentang kita yang sudah harus sadar.

 

Salam Semesta

Copyright 2021 © www.pesansemesta.com

 

Lebih baru Lebih lama