Metamorfosa Iman





Mempercayai memiliki makna yang begitu mendalam. Kita tidak pernah sampai diposisi mempercayai, sampai kita menutup mata rapat-rapat dan membiarkan yang kita percayai menuntun kita secara penuh.

Anda menutup mata lalu melangkah dan mempersilahkan DIA menuntun Anda. Itu Anda lakukan karena Anda menyakini setiap langkah Anda, akan tetap aman meski Anda tidak melihat apapun yang akan Anda hadapi didepan. Karena saking besar dan penuhnya rasa percaya Anda kepada penuntun Anda. Begitulah mempercayai yang sebenarnya.

Jadi percaya adalah tentang ‘rasa kebersamaan’ bukan ‘rasa ketakutan’. Mohon maaf mungkin selama ini kita hanya takut. Kita takut apabila tidak mempercayai DIA. Kita takut dinilai tidak ber-agama atau takut menerima dosa. Akibatnya kita mengaku-ngaku mempercayai, tanpa bisa merasakan apa itu mempercayai yang sebenarnya.

Mempercayai adalah tentang rasa kebersamaan. Rasa dimana kita menyatu, rasa dimana kita bergantung, rasa dimana kita nyaman bersandar, rasa dimana kita mencintai tanpa syarat, rasa dimana kita selalu merasa bersama dan tidak pernah terpisahkan.

Itulah mempercayai dengan arti menerima yang sebenarnya. Dengan arti yang disampaikan semesta untuk kita. Kenapa semesta menyampaikan pesan ini? Karena sudah waktunya jiwa kita menerima kebenaran. Satu kebenaran yang harus kita akui dan kita benahi bersama, bahwa selama ini kita mempercayaiNYA dengan rasa yang berbeda.

Sudah saatnya kita menyadari hal ini. Karenanya mari kita kesampingkan dahulu kesombongan, bahwa kita telah ber-agama dan berhasil mempercayaiNYA. Karena siapa tau ternyata kita belum, kita belum mempercayai DIA. Kita belum mempercayai DIA sebagaimana pesan yang dibawa oleh semesta.

Setelah pembahasan ini selesai, kita akan belajar mempercayaiNYA dengan cara yang baru. Mentransformasi iman, agar sesuai dengan arti yang disampaikan oleh semesta. Pesan ini disampaikan bagi Anda yang mempercayai bahwa kita ini diciptakan. Apapun nama agama Anda.

Kita akan me-reset kepercayaan kita, menjadi kepercayaan dengan level kesadaran yang lebih tinggi. Manusia diberi kemampuan untuk menggabungkan informasi yang diterima melalui indra dan anggota tubuh lainnya untuk diolah didalam akalnya. Hingga menghasilkan kesadaran tinggi akan DIA yang mengatur sistem kehidupan kita semua di alam jagad raya ini.

Kesadaran muncul jauh sebelum iman atau kepercayaan itu muncul. Jadi, iman kita hadir karena adanya kesadaran. Tidak ada iman tanpa adanya kesadaran. Kesadaran atau conciousness adalah proses aktif menuju yang hakiki. Kata “sadar” berbeda dengan “tahu”. Sadar itu bersifat perseptual (pemahaman) yang diiringi dengan akal dan kepercayaan penuh oleh jiwa tanpa adanya keraguan. Jadi hakikatnya, kesadaran akan mendekatkan kita kepada Iman. Iman disini bukan diartikan secara harfiyah sebagai “percaya” saja. Tapi dalam arti yang sebenarnya, yaitu merasakan apa yang dipercaya. 

Misal; Budi adalah manusia yang tidak bisa merasakan panas dan dingin. Seumur hidupnya Budi hanya mendengar dari sekelilingnya tentang adanya panas dan dingin. Budi pun tahu bahwa panas dan dingin itu ada. Pada tahap ini Budi adalah manusia yang percaya panas dan dingin itu ada. Waktu pun berlalu, sampai suatu hari keajaiban terjadi. Untuk pertama kali dalam hidupnya Budi bisa merasakan panas dan dingin. Sekarang dia menyadari sendiri rasa panas dan dingin itu memang betul ada. Akhirnya Budi pun telah meng-imani adanya panas dan dingin, karena dia telah merasakannya sendiri.

Pada detik ini kita mengaku telah meng-imani (mempercayai). Tapi betulkah itu? Bagaimana bisa kita mengaku ber-iman sementara tolak ukur kesadaran kita masih belum bisa terukur?

Karena kesadaran adalah sebuah pilihan. Maka kesadaran menjadi hal yang harus dimunculkan. Kesadaran tidak serta merta hadir begitu saja. Ada proses dan pilihan yang harus kita aksikan. Manusia bebas memilih pilihannya sendiri. Kita bebas menentukan iman seperti apa yang mau kita genggam didalam jiwa. Kalau kita diberi pilihan. Pastilah kita menginginkan iman yang terbaik bukan?

Bukan sekedar iman KTP dan bukan sekedar iman keturunan. Tapi iman sebetul-betulnya iman. Yaitu, iman yang dengan jiwanya manusia merasakan SANG PENCIPTA sehingga perasaan kebersatuan denganNYA memancar keluar meliputi seluruh tindakannya.

Lalu bagaimana memunculkan kesadaran? Saat kita berbicara mengenai kesadaran. Kita berbicara tentang berpikir. Pikiran tidak memiliki awal dan wujud; ia selalu ada bersama kita. Akhir dari berpikir adalah kesadaran. 

Akal adalah peralatan rohaniah manusia. Melalui akal lahir kemampuan menjangkau pemahaman. Akal digunakan untuk memperhatikan, menganalisa sesuatu guna mengetahui rahasia-rahasia terpendam untuk memperoleh kesimpulan ilmiah dan hikmah yang dapat menjadi elemen penting dalam berpikir dan memunculkan kesadaran. Pada kitab-kitab suci umat beragama, banyak disebut tentang perintah berpikir dan menggunakan akal.

Mari kita menggunakan akal ini untuk berpikir. Karena melalui akal akan lahir kemampuan menjangkau pemahaman dan terlahirlah kesadaran. Pada pembahasan ini kami hendak mengajak Anda untuk bersama-sama memikirkan hal yang mendasar dari segala dasar. Yaitu memikirkan DIA yang membuat kita.

Jadikanlah saya sebagai contoh. Seumur hidup dari kecil sampai dewasa sekarang saya adalah orang yang ber-agama. Kedua orang tua saya telah melabeli saya dengan agama, tanpa bertanya kepada saya terlebih dahulu, tanpa memberitahu saya apa itu agama atau apa itu arti dari mengimani yang sebenarnya. Saya menerimanya tanpa berkata ataupun bertanya, yang saya tahu ber-agama adalah ber-ibadah untuk mendapatkan pahala.

Saya pun tumbuh menjadi orang yang sangat rajin melakukan ibadah, lebih tepatnya saya rajin karena saya takut. Takut berdosa dan takut dinilai tidak ber-agama. Hari demi hari, saya tetap menjadi orang ber-agama yang senantiasa melakukan ibadah. Sampai suatu hari saya mulai mempertanyakan hal besar. Apakah saya telah benar-benar merasakanNYA? Siapakah DIA dihidup saya? Dimana posisi DIA berada? Apakah saya telah menepatkanNya di posisi yang benar dalam hidup saya? Ataukah DIA hanya alasan pahala dan dosa saja?

Pada moment itu akhirnya saya tersadar, bahwa dengan mengaku telah ber-agama dari kecil dan senantiasa melakukan ibadah, bukan berarti saya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Lalu apakah saya berhenti menjadi orang yang beragama? Tidak, tapi saya merubahnya. Saya mentransformasi konsep ber-agama saya, yaitu tidak hanya fokus melakukan ritual ibadah saja, namun fokus juga kepada spiritualnya. Dengan mencoba meresapi kehadiranNYA didalam tiap sudut kehidupan.

Metamorfosa iman menjadi moment terberat waktu itu, kenapa? Karena saya terbiasa melakukan ibadah hanya sebatas ritul tanpa meresapi kehadiranNYA. Karena saya terbiasa melakukan ibadah berdasarkan rasa takut, bukan rasa cinta. Karena saya terbiasa mengaku bera-agama bukan ber-tuhan.
Tapi, saya menyakini satu hal. Ini adalah jalan saya menujuNYA, yang selama ini saya abaikan, dan saya tidak akan mengabaikan DIA lagi. Jalan ini akan membangun hubungan denganNYA sehingga berwujud sebuah rasa kebersamaan, bukan lagi rasa ketakutan.

Metamorfosa iman  bukan perkara masuk surga atau neraka. Ini bukan perkara dosa atau pahala. Ini juga bukan perkara hukum agama. Tapi ini perkara merasakan keberadaanNYA di hidup kita. Pernahkah kita mempertanyakan itu lalu memikirkan jawabannya?

Kalau belum, bersyukurlah sekarang kita sudah. Metamorfosa iman seperti merobohkan dinding yang sudah kita susun sekian lama, dan meneliti kembali apakah kita telah memasangnya dengan benar atau belum. Kita lakukan ini semua, tidak lain agar kita mendapatkan dinding yang kokoh.

Perhatikan kepompong itu. Dulu dia hanyalah ulat. Setelah ber-metamorfosa dia kembali hadir menjadi kupu-kupu yang indah. Begitu juga dengan iman yang kita miliki. Biarkan iman kita kembali menuju awal kehidupan. Menjadi kepompong agar bisa merasakan lagi kasih sayang dan anugerahNya yang selama ini kita abaikan.
 Biarkan dia ber-metamorfosa agar hadir kembali menjadi iman yang indah. Lalu biarkan jiwa kita merasakan keindahannya.

Jangan terburu-buru mentransformasi iman Anda. Perlahan tapi pasti. Lakukanlah dengan kegembiraan dan senyum. Katakan kedalam diri, bahwa Anda sedang menapaki langkah demi langkah menuju DIA. Akuilah bahwa diantara goal-goal hidup dan prioritas yang telah Anda buat dalam hidup ini. Mentransformasi iman adalah prioritas hidup Anda yang terpenting diantara yang paling paling penting. Dan sadarilah selalu bahwa ini adalah fase kesadaran urgent yang menunggu diaktifkan.

Kita ini ibarat ulat yang sedang mencari dahan untuk membentuk kepompong. Tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai kembali membenahi hubungan kita denganNYA. Semesta tidak pernah salah menilai, DIA tahu langkah-langkah kecil kita.


Salam Semesta


Copyright © www.pesansemesta.com

IG : @PesanSemesta.ig . FB : PesanSemesta.7

Lebih baru Lebih lama