HOW TO FORGIVE? CUKUP SATU CARA TERDAHSYAT UNTUK MEMAAFKAN SEGALANYA


Seorang sahabat bertanya tentang bagaimana caranya memafkan? Melalui izinNYA kami menjawab.

Sahabatku… Sadarkah kalau sebenarnya kita bisa menjadi manusia yang mampu memaafkan segalanya, karena segalanya sudah termaafkan bahkan sebelum memaafkan harus terjadi.

Percayalah… Betul kita bisa melakukannya. Betul kita bisa menjadikan jiwa kita seringan helaian bulu angsa atau mungkin lebih ringan. Yang perlu kita pahami diawal adalah, bahwa kemampuan memaafkan bukan sekedar tentang pekerjaan mental dan spiritual. Melainkan juga pekerjaan tubuh yang tentunya bisa dikontrol dengan lebih mudah.

Memaafkan juga adalah pekerjaan tubuh dan dengan memahami ini maka kita akan mampu memaafkan segalanya. Lalu bagaimana caranya?

Sahabatku… Dasar dari memafkan adalah self-acceptance (penerimaan diri).

Entah itu memaafkan yang diluar atau memaafkan diri sendiri, keduanya sebenarnya adalah hal yang mudah dilakukan apabila seseorang memiliki tingkat penerimaan diri yang tinggi.

Kesulitan untuk memaafkan diri sendiri dan orang lain terjadi karena diri masih belum terlatih untuk menerima. Sementara menerima itu bukan sekedar menerima begitu saja lalu menyudutkan diri menjadi korban.

Seseorang yang mampu membangun nilai tinggi pada penerimaan diri akan memiliki sikap positif untuk mengakui dan menerima semua aspek dari diri mereka sendiri (termasuk yang baik dan buruk).

Seseorang yang mampu membangun nilai tinggi pada penerimaan diri tidak akan mengkritik diri sendiri atau bingung tentang identitas dan keberadaan diri mereka sendiri. Mereka hanya akan menghadapi apapun yang ada dihadapan tanpa berharap mereka berbeda dari siapa mereka sebenarnya.

Jadi saat seseorang memiliki self-acceptance yang tinggi mereka tidak pernah merasa menjadi korban dalam arti yang menyudutkan dirinya dan orang lain. Mereka hanya sadar kalau kejadian buruk atau baik telah terjadi dan konsekuensinya harus segera diterima.

Sahabatku… Self-acceptance membawa seseorang untuk memaafkan apapun bahkan sebelum memaafkan harus terjadi. Tentunya, self-acceptance bukan sekedar tentang mental atau spiritual tapi juga tubuh.

Kita harus senantiasa paham kalau jasad dan jiwa bekerja berbarengan. Penerimaan diri bukan tentang bagaimana software kita bekerja namun tentang hardware kita juga. Untuk membangun dan memiliki penerimaan diri yang tinggi kita butuh mengasah beberapa tentang jasad kita sendiri.

Banyak psikolog percaya bahwa tingkat penerimaan diri kita secara langsung berkorelasi dengan bagaimana kita diterima oleh orang tua kita dan figur otoritas lainnya. Anak-anak melihat ke orang tua mereka untuk memberikan penerimaan sebelum mereka mencapai usia di mana mereka mulai membentuk pendapat tentang diri mereka sendiri. Jika pesannya positif, maka mereka lebih cenderung untuk menerima diri mereka sendiri daripada anak-anak yang diberi tahu bahwa mereka tidak cukup baik.

Memori yang bekerja dibalik layar inilah yang akhirnya mempengaruhi tingkat tinggi atau rendahnya penerimaan diri. Sementara memori apapun yang berhubungan dengan emosi atau penilaian tersimpan rapih didalam amygdala.

Amigdala merupakan kumpulan sel-sel dekat dasar otak. Ada dua, satu di setiap belahan atau sisi otak. Di sinilah emosi diberi makna, diingat, dan melekat pada asosiasi dan respons terhadapnya.

Dengan kata lain disini, apabila kita mampu mengontrol bagaimana organ kecil ini bekerja, maka kita akan mampu mengontrol ulang penerimaan diri sesuai dengan tingkat level yang kita kehendaki. Masalahnya sekarang adalah bagaimana caranya - Bagaimana kita mengontrol amigdala?

Sahabatku… Jawabannya terdapat pada lobus frontal.

Lobus frontal adalah dua daerah yang luas di depan otak kita. Mereka adalah bagian dari korteks serebral, yang merupakan sistem otak yang lebih baru, rasional, dan lebih maju. Di sinilah pemikiran, penalaran, pengambilan keputusan, dan perencanaan terjadi. Disinilah akal manusia bekerja.

Lobus frontal memungkinkan kita untuk memproses dan memikirkan emosi. Sehingga kita kemudian dapat mengelola memori emosi dan menentukan respons yang logis. Berbeda dengan respons otomatis amigdala, respons terhadap dari lobus frontal secara sadar dikendalikan oleh diri kita sendiri.

Sayangnya lobus frontal tidak pernah bekerja sendiri tanpa dipilih. Sayangnya kita belum terlalu pintar dalam memilih. Padahal PILIHAN KITA MAMPU MERUBAH APAPUN DAN MEMBUAT APAPUN.

Memang penerimaan diri dipengaruhi dari bagaimana dahulu kita diperlakukan dan dinilai. Tapi manusia memiliki pilihan untuk menerima dirinya sendiri atau terus menerus mereject dirinya.  

Jujur kita semua butuh memilih untuk membangun self-acceptance untuk kesehatan mental yang baik dan kebahagiaan hidup. Karena pastinya, hidup akan menjadi lebih berbahagia kalau kita mampu memaafkan segalanya bukan?

Kebanyakan kita sekarang memfokuskan diri membangun target kebahagiaan diri. Tapi lupa membangun penerimaan diri. Fokus terhadap target kebahagiaan diri tidaklah salah selama kita juga turut membangun self-acceptance. Karena jangan sampai target kebahagiaan kita justru tidak lagi bisa membahagiakan akibat kita memiliki tingkat penerimaan diri yang rendah.

Bukankah banyak orang-orang yang sulit memaafkan kegagalan mereka sendiri? Sulit memaafkan cinta mereka sendiri? Sulit memaafkan kekalahan mereka sendiri?

Padahal kesuksesaan butuh kegagalan untuk menjadi sukses. Cinta membutuhkan benci untuk menjadi cinta. Menang membutuhkan kalah untuk menjadi menang.

Kita harus mampu menerima posisi yang bersebarangan hanya agar kita sadar kalau sudut yang kita inginkan itu memang ada. Beginilah keniscyaan hidup dibuat olehNYA.

Sahabatku… Kita tidak memafkan karena kasihan, kita juga tidak memaafkan karena memaafkan itu berpahala. Kita memaafkan karena disudut manapun itu baik atau buruk, kita menerima sudut itu sebagai buatanNYA.

Kita menerima wujud buatanNYA itulah kenapa kita menerima diri ini yang juga adalah wujud buatanNYA. Semenerima itu kita menerimanya, sampai kita bahkan bisa begitu berbahagia karena sebenarnya kita hanya menerimaNYA.

Penerimaan diri adalah kepuasan atau kebahagiaan individu dengan diri sendiri yang tidak lain itu hanyalah diriNYA.

Akhir kata sahabatku…

Maafkanlah gelap karena dengannya ada terang. Maafkanlah pahit karena dengannya ada manis. Memaafkan hanya tentang menerima wujud-NYA. Hanya saja wujud-NYA bukan tentang baik dan bukan juga tentang buruk. Tapi tentang keduanya.

 

Salam Semesta

Copyright 2020 © www.pesansemesta.com


Lebih baru Lebih lama