RAHASIA AGAR SETIAP ILMU BER-MANFAAT SEHINGGA BISA MENJADI AMAL YANG DITINGGALKAN

 


Seorang sahabat bertanya “Bagaimana caranya meninggalkan ilmu agar bisa bermanfaat?”

Caranya, adalah dengan mensyukuri setiap ilmu yang ter-terima dan janganlah pernah setitik pun menyombongkannya.

Kesombongan itu muncul dari rasa kepemilikan yang tinggi. Saat seseorang merasa begitu memiliki ilmunya. Maka ilmunya akan menjadi gerbang kesombongan yang besar.

Sahabatku… Tulisan ini merupakan sebuah jawaban yang halus dan juga keras.

Dikatakan halus, karena setiap saat seseorang akan senantiasa ber-ilmu. Dalam semesta ini, ilmu itu tidak pernah ditemukan. Melainkan segalanya adalah ilmu. Kita yang berjalan dilautan ilmu ini, adalah seorang pelajar.

Jadi setiap kita hidup sebagai seorang pelajar. Setiap pelajar memiliki pilihan untuk belajar atau tidak belajar. Itulah kenapa, memang manusia akan terus ditakdirkan menjadi manusia yang ber-ilmu selama dirinya belajar.

Pertanyannya; Saat kita mulai menjadi ber-ilmu, maka akan di-apa-kan keilmuan itu? Inilah bagian kerasnya, yaitu sebuah aplikasi. Dalam aplikasinya setiap yang ber-ilmu memiliki dua pilihan; Pilihan pertama, ilmu itu dijadikan pintu ke-syukuran. Pilihan kedua, ilmu itu dijadikan pintu ke-sombongan.

Lalu, apa saja itu tanda manusia telah memilih menyombongkan ilmunya :

#Tanda pertama: Ilmu dipakai untuk membenarkan diri

Sahabatku… Ilmu itu akan senantiasa berubah. Dimana ilmu itu tidak pernah utuh. Bagaimana pun utuhnya dan sempurnya ilmu. Tetap ada masa-nya ilmu itu harus ditingkatkan, diupdate dan direvisi terus-menerus dari generasi ke generasi.

Menggunakan ilmu untuk pembenaran akan menjadi kendala pada keniscayaan ilmu itu sendiri. Itulah kenapa kita harus berendah diri untuk tidak menggunakannya sebagai sebuah pembenaran. Apalagi untuk membenarkan kelompok dan diri sendiri.

Pilihan ini sebenarnya sangat spiritual. Kalau lah semesta ini adalah ilmuNYA Dzat Maha Ilmu dan ilmuNYA Dzat Maha Benar. Maka memang tidak ada yang sanggup membatasi keduanya kecuali Pemiliknya sendiri bukan?

Jadi, memendam diri untuk tidak mencoba menjadi sang maha benar dalam keilmuan apapun, akan menjadi pilihan jiwa yang merendah diri dihadapan Sang Pemilik ilmu.

Ini penting sahabatku… Karena apabila, seseorang belum mampu merendah diri dihadapan Dzat Yang Membentuk dirinya sendiri. Maka seseorang itu akan sulit merendah dihadapan manusia. Hasilnya, dirinya akan senang untuk menggunakan ke-ilmuannya untuk memperdebatkan pemahaman. Dan inilah tanda kesombongan yang kedua.

 

#Tanda kedua: Ilmu dipakai untuk memperdebatkan pemahaman

Sahabatku… Dalam perdebatan selalu harus ada kubu yang menang. Jadi memang debat hanyalah tentang menang atau kalah. Boleh bisa kita berkata di awal kalau debat ini tentang pertukaran keilmuan.

Tapi kalau boleh jujur sahabatku… Haruskah keilmuan dimenangkan atau dikalahkan? Haruskah kita merasa menang diatas keilmuan seseorang yang masih cetek? Haruskah kita tersenyum diatas seseorang yang dikerdilkan keilmuannya? Jawaban sopannya tetap tidak.

Kehidupan adalah kesempatan bagi tiap pelajar untuk belajar. Hasilnya adalah tiap kita menerima ilmuNYA Dzat Maha. Itulah kenapa kita memang sudah harusnya menghargai keilmuan seseorang dan bukan mendebatkannya. Karena perdebatan yang paling baik adalah pembuktian aksi.

Kita adalah semesta. Kita adalah bagian semesta. Kontribusi kita sebagai semesta adalah dengan amal perbuatan. Bukan sekedar ribuan kata-kata perdebatan. Karena tanpa butuh perdebatan kita ini adalah ilmu-NYA bukan? Sesungguhnya Dzat Maha telah menganugerahkan dan mengatur hidup kita tanpa perdebatan, melainkan hanya aksi nyata.

Semesta ini terbentuk tanpa perdebatan. Jantung ini berdetak tanpa perdebatan. Matahari terbit dan terbenam tanpa perdebatan.

Maka itu, silahkan perdebatan itu dimulai dengan satu aksi kecil, bukan satu kata besar. Satu aksi kecil adalah ketundukan, karena telah melakukan sesuatu dengan apa yang telah dianugerahkan-NYA, yaitu ilmuNYA.

 

#Tanda ketiga: Ilmu tidak ditukar untuk kemakmuran semesta

Kemakmuran diperoleh oleh satu aksi, yaitu memakmukan. Me-makmur-kan adalah memfungsingkan diri untuk kehidupan, bukan untuk keuntungan. Kita memakmurkan kalau kita sudah bisa berperan untuk kehidupan semesta, bukan sekedar berperan untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri.

Kalau sinar matahari menyinari seluruh wajah manusia. Maka begitulah kita harus juga bersinar untuk seluruh wajah manusia, tanpa mengenal kata imbalan.

Jelas kemakmuran adalah satu kata besar yang butuh pembuktian nyata. Dan inilah fungsi ilmu dan ber-ilmu, yaitu untuk memakmurkan.

Saat membicarakan me-makmur-kan, bukan membicarakan hak, melainkan kewajiban. Ilmu itu selalu tentang kewajiban sahabatku... Bukan lagi mana hak yang akan saya terima dari ilmu ini? Tapi apa kewajiban saya dengan ilmu ini?

Ilmu itu sendiri sudah menjadi hak yang sudah kita terima, dan sekarang tinggal kewajiban kita saja, yaitu untuk menggunakannya untuk kemakmuran. Perhatikanlah, bukankah sekarang polanya sudah dibalik. Berbondong-bondong kita menimba ilmu untuk menerima hak. Bahkan disaat hidup pun kita masih berpikir hak apa yang akan kita dapat nanti setelah meninggal dari manfaatnya ilmu ini.

Akuilah sahabatku… Tidak apa, kita memang masih begitu sibuk mencari hak yang diterima. Akhirnya masing-masing kita hanya sibuk mengumpulkan keuntungan. Bahkan saat meninggal pun kita masih sibuk mengais keuntungan dari apa yang telah kita tinggalkan, bukan begitu?

Pasalnya, kemakmuran tidak untuk mencari keuntungan pribadi, kelompok atau golongan. Kemakmuran adalah kehidupan untuk kehidupan.

Karena seluruhnya ada dalam kehidupan SANG PENCIPTA maka merupakan keniscayaan semesta untuk bergerak sesuai penciptanya, yaitu kehidupan untuk kehidupan. Dan inilah yang kita lupakan sahabatku…

Kita lupa kalau ilmu yang kita pelajari ini adalah tentang kehidupan untuk kehidupan. Dimana dengan ilmu ini seharusnya kita TIDAK hanya sangat peduli untuk me-makmur-kan kehidupan kita sendiri, tetapi juga harus peduli untuk me-makmur-kan kehidupan lain.

Sehingga kita tidak menjadikan ilmuNYA berperan dalam peran egoisme yang sempit. Dimana kita hanya menjadikan ilmuNYA sebagai keuntungan, dan bukan kemakmuran. Dimana akhirnya sifat rahmat ilmuNYA bagi semesta alam pun hilang. Kesombongan dari kepemilikan ilmu muncul. Lalu mensyukuri ilmu pun menjadi teramat susah.

Susah, karena mensyukuri ilmu itu bukan dengan mengucapkan terimakasih kepada Dzat Maha Ilmu yang sudah menjadikan kita ber-ilmu. Bukan pula mencoba membalas anugerahNYA dengan perbuatan baik seperti sedekah atau acara berbagi yang kita berikan atas namaNYA.

Mensyukuri ilmu yang sebenarnya adalah lebih BESAR, yaitu kita menjadikan diri sebagai gerbang Sang Sumber Ilmu. --- Sungguh tak terbayangkan besarNYA bukan? Dimana yang besar itu sebenarnya bukan ilmuNYA. Melainkan sumber ilmu itu sendiri. Jadi mohon mulai sekarang jangan diremehkan hal besar ini.

Mulai sekarang kita akan paham, kalau tidak ada ilmu yang master atau tidak master. Tidak ada ilmu yang sederhana atau tidak sederhana. Karena keseluruhan ilmu, baik yang master atau tidak master. Baik yang sederhana atau yang tidak sederhana hanya bersumber dariNYA.

Jadi setiap pelajar yang berilmu itu sedang memegang sebuah tanda ke-Maha Besaran Sang Alim. Yang mana isi genggaman itu bukan untuk sebuah kepemilikan yang disombongkan. Melainkan untuk disyukuri, yaitu untuk dijadikan rahmat bagi semesta alam.

Itulah kenapa dengan mensyukuri ilmu, maka kita akan menutup pintu-pintu kesombongan. Karena kita telah berhasil dengan sengaja menutup pintu-pintu kepemilikian. Lalu kita hanya memilih fokus pada satu titik yang sibuk, yaitu untuk mengaplikasikan ilmuNYA ini untuk memakmurkan, yaitu untuk menjadi rahmatNYA bagi semesta alam.

Akhirnya kemakmuran bisa tersebar dengan seharusnya dengan sumber ilmuNYA. Sangat besar, dan memang kita sudah terlampau menjauh dari yang seharusnya ini sahabatku… Seperti semut kecil yang tersesat di planet mars untuk mengais tanah demi menumbuhkan kembali air.

Namun tidak ada salahnya kita memulainya sekali lagi. Karena dalam ilmuNYA ini tidak ada hal kecil. Segala yang kecil adalah kebesaran yang seharusnya. Sebuah pengingat keras kalau memang sudah seharusnya dalam IlmuNYA ini tertunduklah segala semesta kepada Pencipta Sang Sumber Ilmu.

 

Salam semesta

Copyright 2021 © www.pesansemesta.com

Lebih baru Lebih lama