BER-QURBAN Dalam Arti Yang Sesungguhnya












Sebelumnya, kita tidak akan membahas tentang hukum agama. Seluruh hukum agama tentang berkurban akan kami serahkan kepada masing-masing pemeluk agama. Pada pembahasan kali ini, kami hanya akan mengajak Anda sebentar saja untuk memahami Ber-Qurban dalam arti yang sesungguhnya. Kami juga akan mengajak Anda jalan-jalan sebentar menelusuri sejarah persembahan hewan. Lalu kami juga akan mengajak Anda untuk bertanya “Apakah betul SANG PENCIPTA, SANG PEMBUAT membutuhkan penyembelihan hewan qurban dari makhlukNYA? Apa yang sesungguhnya dibutuhkan manusia dari persembahan hewan?”

Apabila Anda merasa terusik dengan ajakan kami diatas, sebaiknya ada menutup saja artikel ini, tidak perlu lanjut membacanya sampai habis. Hidup ini adalah pilihan, dan kami memilih untuk mengungkap sedikit sejarah dan kebenaran tanpa menyalahkan siapapun. Kebenaran tidak selalu harus diterima. Karena butuh kenetralan untuk menerima kebenaran. Kenetralan adalah bagaimana SANG PENCIPTA, SANG PEMBUAT bergerak. Kita harus menetralkan diri untuk menerima gerakan itu.

Pada tulisan kali ini kita akan mengawali pembahasan tentang sesuatu yang jarang dibahas, yaitu tentang pemahaman sejarah persembahan hewan untuk Tuhan. Karena kalau menelisik sejarah kegiatan pengorbanan hewan yang sekarang dilakukan atas nama ‘ibadah’ qurban, merupakan kegiatan yang dilakukan jauh sebelum umat muslim melakukannya.

Pengorbanan hewan dahulu dikenal dengan persembahan hewan, adalah ritual pembunuhan dan persembahan hewan sebagai bagian dari ritual kepercayaan untuk menenangkan atau meminta bantuan kepada para dewa. Dengan harapan bahwa mereka akan merubah keadaan alam dan memberi kemakmuran sesuai dengan keinginan penyembahnya. Pengorbanan hewan banyak ditemui pada hampir semua kebudayaan kuno, dari kebudayaan Roma, Yahudi dan Yoruba. Pengorbanan hewan terus berlanjut di beberapa budaya kepercayaan atau agama hingga saat ini.

Banyak upacara Romawi yang dimana pada upacara itu pengorbanan hewan menjadi praktek dasar. Karena orang Romawi percaya bahwa mereka akan memiliki nasib baik jika para dewa bahagia. Untuk membuat para dewa Romawi bahagia, beberapa pengorbanan dipraktikkan di Roma kuno, dan setiap pengorbanan sifatnya sangat ritual. Bentuk pengorbanan yang paling umum adalah suovetaurilia atau solitaurilia, yang melibatkan pengorbanan babi, domba, atau sapi.

Pengorbanan Hewan dalam Alkitab Ibrani dituliskan bahwa hewan apa pun milik Tuhan, jadi ketika Anda membunuhnya, Anda mengembalikan darah kepada Tuhan. Dalam Keluaran, ketika Allah memberikan perjanjian kepada umat-Nya dalam upacara ratifikasi, Musa mengorbankan seekor hewan yang diambil darahnya dan setengahnya ia lemparkan di atas mezbah, yang merupakan penopang bagi Allah, dan setengah lainnya ia lemparkan ke atas orang orang. Jadi itu menyatukan orang-orang dan Tuhan mereka melalui darah hewan kurban pertama ini. Jadi hewan itu dikorbankan sebagai penyatuan manusia dan Tuhan. Dan para imam akan memakan daging dalam jumlah tertentu dan sisanya akan diberikan kepada orang-orang.

Kalau dalam umat muslim qurban juga disebut Udhhiyah atau Dhahiyyah. Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)

Jadi pengorbanan hewan kalau dilihat dari sejarah manusia, tidak murni milik satu agama tertentu. Meski masing-masing kepercayaan atau agama, memiliki jadwal waktu dan tata cara pengorbanannya masing-masing. Namun, kalau diambil dari garis besarnya, apa yang mereka lakukan adalah mengurbankan hewan atas nama dewa atau Tuhan. Apapun niat dan tujuan masing-masing, dan bagaimana mereka menyebut nama dewa atau Tuhannya masing-masing. Tetap garis besarnya adalah menyembelih hewan atas nama Tuhan.

Akan sangat panjang kalau kita ceritakan secara mendetail masing-masing sejarahnya. Meski ada begitu banyak versi sejarah yang diceritakan dan sebenarnya sudah sangat terdistorsi. Namun silahkan Anda teliti kembali dan dari penghujung penelitian, garis besarnya tetap akan sama. Karena ada bagian sejarah yang hilang, yang tidak bisa lagi kita jamah pembuktiannya. Jadi mau tidak mau kita menerima, bahwa inilah yang disebut dengan pengorbanan hewan atau lebih nyaman kita sebut Ber-Qurban.

Sahabatku… Tanpa mengurangi sedikit pun rasa hormat kami kepada tiap-tiap agama yang melakukan pengorbanan hewan, mari kita bertanya secara tulus dari jiwa termurni dan terdalam “Apakah betul SANG PENCIPTA, SANG PEMBUAT membutuhkan penyembelihan hewan qurban dari makhlukNYA?”

Apabila mau jujur, hati dan akal kita menjawab tidak, meski dogma agama kita memberi jawaban lain. Tidak apa sahabatku… Kami tidak akan menyesatkan atau membuat Anda tersesat dengan pertanyaan diatas. Kami hanya ingin Anda memaknai ibadah dengan sebaik dan seindah-indahnya kebenaran.

Kalau memang betul qurban adalah ibadah yang mampu mendekatkan Anda kepadaNYA, maka lakukanlah. Selalu lakukanlah ibadah yang mendekatkan Anda kepadaNYA. Luruskan-lah Qurban Anda hanya untukNYA. Pastinya SANG MAHA tidak membutuhkan wujud hewan yang kita sembelih. SANG PEMBUAT seluruh makhluk semesta. SANG PENCIPTA penghidup seluruh makhluk semesta. Tidak mungkin membutuhkan itu semua. Logikanya kita selalu membutuhkan sesuatu yang kita tidak, atau belum kita miliki. Apalagi yang tidak dimiliki oleh SANG PENCIPTA yang bahkan ketiadaan pun diciptakanNYA?

Berarti ada pengertian yang harus diluruskan, dari kenapa kita Ber-Qurban? Dan inilah yang akan menjawab “Apa yang sesungguhnya dibutuhkan manusia dari persembahan hewan?”

Sahabatku… Harap diterima, bahwa kita Ber-Qurban bukan untukNYA, tapi untuk kita dari kita. Agar manusia mengingat tugas yang sebenarnya, yaitu saling memakmurkan. Sayangnya, inilah yang terlupakan dari arti Ber-Qurban yang sesungguhnya. Kita lupa kalau SANG PENCIPTA, SANG PEMBUAT tidak membutuhkan hewan yang kita sembelih. Kita lupa kalau ini hanyalah pembuka jalan agar manusia saling bergerak hatinya untuk mengingat kembali tugasnya, yaitu tugas untuk saling memakmurkan.

Itulah kenapa dalam beberapa agama, ditetapkan syarat-syarat khusus untuk hewan-hewan yang dipersembahkan. Artinya, lakukanlah yang terbaik untuk memakmurkan sesama. Saat hewan itu sembelih dengan cara yang baik, lalu bergotong royong semua kita saling memotong dan membagi-bagikan kepada yang membutuhkan. Pada moment itu kita tergerak kembali untuk berkumpul dan saling. Saling membantu, saling mengingat siapa diantara kita yang harus dimakmurkan. Bukan begitu?

Inilah momentnya, inilah perjalanannya. Bagian tersedihnya, selama ini kita hanya sibuk mencari hewan sembelihan terbaik untuk kita persembahkan, untuk kita jadikan pahala, untuk kita jadikan penghapus dosa. Tapi kita melupakan hal yang lebih penting. Kita lupa, bahwa prosesi ini hanyalah pengingat bagi kita akan tugas yang harusnya kita lakukan seumur hidup, yaitu bersama-sama saling memakmurkan.

Bukan apa yang disembelih, tapi kenapa dan bagaimana kita menyembelih. Karena pada kenyataannya. Setiap hari seluruh umat manusia didunia sudah menyembelih hewan, bukan begitu? Apakah pasar-pasar itu tidak dipenuhi dengan hewan-hewan yang telah dikorbankan buat manusia? Lalu apa yang membuat prosesi ini berbeda, kalau nyatanya setiap hari memang manusia sudah menyembelih banyak hewan? Yang menjadi pembeda adalah niat yang kita buat dalam kesadaran terdalam diri. Artinya, pada moment ritual ini diharapkan niat manusia untuk melaksanakan tugasnya untuk memakmurkan tercapai, terlaksana, dan dilaksankan.

Kalau begitu apakah kita hanya harus memakmurkan satu kali dalam setahun?

Itu minimalnya sahabatku… seharusnya kita memakmurkan tiap detik hidup kita. Karena itu adalah tugas kita sebagai khalifah fil ardh (pemimpin dimuka bumi).

Kalau begitu apakah kita hanya memakmurkan lewat pengorbanan hewan?

Itu adalah contoh yang bisa dilakukan para generasi terdahulu. Apa lagi pekerjaan mereka kalau bukan penggembala ternak. Apakah pada umat terdahulu kita bisa mengharapkan penggembala ternak memakmurkan dengan cara yang lain? Pikirkanlah terlebih dahulu.

Kalau kita masuk kedalam golongan penggembala ternak. Lalu kita meminta mereka memakmurkan dengan cara berbagi ikan, bukankah itu akan berat? Atau kalau diputar, kita meminta mereka para nelayan untuk memakmurkan dengan cara berbagi daging kambing, bukankah itu akan berat?

Jadi memakmurkan itu adalah apa yang bisa kita bagi dari diri untuk kemaslahatan bersama, bukan pribadi dan bukan kelompok. Umat sekarang (kita) memiliki apa yang mereka (umat terdahulu) tidak miliki. Kita memiliki kesempatan yang lebih dari sekedar mengorbankan hewan. Generasi kita sekarang pastinya, tiap-tiap dirinya memiliki kemampuan yang dapat dibagikan kepada sesama makhluk bumi untuk saling memakmurkan di banyak sektor.

Makhluk bumi memiliki artian yang luas, bunga dipojokan taman Anda juga adalah makhluk bumi. Apabila ada yang terbersit untuk bertanya “memangnya memakmurkan kepada tanaman dapat pahala?”

Sahabatku… Kemakmuran adalah memfungsingkan diri untuk kehidupan, bukan untuk keuntungan. Anda memakmurkan kalau Anda sudah bisa berperan untuk kehidupan semesta, bukan sekedar mencari keuntungan bagi diri sendiri atau kelompok. Bukankah kita diminta mendekat? Kenapa kita disuruh mendekat? Bukankah itu hanya agar kita merasa nyaman, tenang, tidak khawatir dan tidak pula bersedih. Masih perlukah mengkhawatirkan pahala, kalau kita sudah mendekat kepadaNYA?

Kedekatan itu adalah cinta dan penghambaan. Penghambaan itu adalah kita melakukan fungsi kita sebagai makhluk. Sementara cinta adalah ikatan, ikatan cinta khalik (pencipta) dengan makhluk (yang diciptakan). Kita tidak memberi hitungan kepada yang kita cintai. Tapi kita akan memberikan segalanya… segalanya. Percayakah Anda kalau SANG PENCIPTA, SANG PEMBUAT bisa memberikan Anda segalanya? Bahkan segala hal yang jauh lebih nyata dibanding angka pahala.
Apa itu sahabatku…? Apa itu hal yang jauh lebih nyata dibanding angka pahala?  

Bukankah ketenangan jiwa kita adalah sesuatu yang lebih nyata dibanding angka pahala? Dimana saat memakmurkan kita mulai merasakan hanya getaran kedamaian jiwa. Bukan lagi getaran ujub, ingin dinilai  atau riya. Tapi getaran ketulusan keikhlasan, bahwa kita melakukan ini karenaNYA, untukNYA, dan bersamaNYA. Bukankah ini adalah mendekat sahabatku? Yaitu menghadirkan yang kita bersaksikan dalam hidup. Bukankah indah apabila kita bisa menghadirkanNYA selalu?

Renungkanlah sahabatku… Nyatanya jiwa kita memang merindukan rasa ini. Tapi, kenapa selalu merindu kalau kita bisa mendekat? Dari sisi bahasa, QURBAN berasal dari kata Qoroba Yaqrobu yang artinya “mendekat” Dalam bahasa ibrani qarab artinya "menjadi lebih dekat dengan sesuatu atau seseorang”.

Menjadi jelas sekarang apa itu arti Ber-Qurban dalam artian yang sesungguhnya bukan? Yaitu untuk mendekat. Jelas manusia akan mendekat apabila setelah dia bersaksi lalu dia memakmurkan.

Mulai sekarang jangan membingungkan prosesi acara penyembelihannya. Lakukan saja yang terbaik bagi hewan dan bagi kemakmuran sesama. Karena sekarang kita paham, bahwa SANG PENCIPTA, SANG PEMBUAT tidak membutuhkan sembelihan itu. Sembelihan itu hanyalah pelajaran agar kita mau mengingat kembali tugas makmurkan yang kita lalaikan. Apakah SANG PENCIPTA, SANG PEMBUAT butuh kita memakmurkan? Sama sekali tidak, SANG PENCIPTA, SANG PEMBUAT hanya ingin kita menyadari diri kembali, bahwa sebagai kesatuan semesta, kehidupan kita adalah ketersalingan.

Hewan sebagai bagian semesta telah bertugas untuk mengorbankan dirinya demi kemakmuran manusia.  Tumbuhan sebagai bagian semesta sama juga, telah bertugas demi kemakmuran manusia. Atmosfir, udara, air, awan, hujan, matahari, belatung dan lain-lain yang tidak bisa disebut satu persatu. Semua bagian semesta telah bertugas demi saling memakmurkan.

Sampai disini sahabatku…Sebagai  bagian semesta, apa yang telah kita lakukan untuk memakmurkan? Diulang lagi kemakmuran adalah memfungsingkan diri untuk kehidupan, bukan untuk keuntungan. Anda memakmurkan kalau Anda sudah bisa berperan untuk kehidupan semesta, bukan sekedar mencari keuntungan bagi diri sendiri atau kelompok.

Kalau pengorbanan hewan pada hari tertentu kita niatkan sebagai hari awal untuk memakmurkan, maka lakukanlah. Masih ingat bukan, niat diungkapkan dengan kesadaran. Lanjutkan saja, lakukan saja dengan benar dan baik. SANG PENCIPTA, SANG PEMBUAT mengetahui betul niat kesadaran kita.

Setelah ritual itu selesai, ingatlah terus bahwa selama kita masih bernafas, selama itu pula kita tidak akan berhenti bertugas. Berarti, tugas sebagai khalifah diatas muka bumi yang mengemban tugas memakmurkan belum selesai. Masih banyak hari-hari setelah hari ritual penyembelihan yang akan kita lewati dengan terus memakmurkan. Inilah pesan dari Ber-Qurban yang sebenarnya.

Sejarah umat manusia yang sebenarnya sudah terdistrosi selama sekian ribu tahun. Seperti jejak kaki digunung sahara, mau kemana lagi kita mencari jejak kita yang hilang. Namun SANG PEMBUAT ILMU tidak pernah hilang. DIA ADA, mendekatlah untuk menerima bimbinganNYA sahabatku… 

Mendekatlah sekarang tanpa menunggu moment ritual apapun. Nyatanya kita memang sudah bersamaNYA. SANG PENCIPTA, SANG PEMBUAT tidak pernah hilang dari diri kita. Kita hanya butuh BERSAKSI untuk menghadirkanNYA.

Salam semesta

Copyright © www.PesanSemesta.com

Lebih baru Lebih lama